Thursday, September 6, 2012

Nothing.

Dia. Dia seorang lelaki berumur sembilan belas tahun. Dan dia berada diujung sana, ditempat dimana aku bahkan tidak bisa lagi memantau keadaannya. Dia berjalan, dan terus berjalan. Menyusuri jalanan-jalanan ramai di ibukota. Entah bersama siapakah dia, entah apa sudah ada penggantiku yang dulu selalu menemaninya, dan entah, entah apa dia sudah tidak ingat lagi siapa diriku.
Dia, yang dulu selalu bercerita, menceritakan apapun yang terjadi dalam hidupnya di sepanjang hari. Apakah dia sakit, sehat, senang, sedih, gembira, atau apapun. Dia yang dulu sempat aku ejek, "kamu kaya anak kecil deh, masa tiap detik laporan." Dia yang selalu bilang kalau dia rindu kehadiranku, dan aku pun begitu. Dia yang tak pernah tinggal diam jika ada seseorang yang menyakitiku.
Dia. Dia yang dulu selalu aku banggakan didepan teman-temanku, didepan keluargaku, didepan semua orang yang kujumpai. Aku bangga memiliki dia. Dia yang lucu, dia yang penurut, dan dia yang apa adanya.

"in feite, mensen die ons gelukkig maken, is degene die heeft ons ook verdrietig."
(sesungguhnya, orang yang membuat kita bahagia, adalah orang yang juga membuat kita sedih).

Aku membenarkan kata-kata itu, setelah setahun kemudian dia pergi, dia meninggalkanku, dia berjalan dan terus berjalan begitu saja, tanpa menoleh kebelakang, tanpa melihat kearahku. Dia pergi tanpa meninggalkan jejak apapun dihadapanku. Dia yang dulu selalu membuatku bahagia, sekarang juga membuatku hancur. Hancur yang mendalam. Hancur karena merasa dibohongi keadaan, atau mungkin malah dia yang membohongiku? Semuanya berubah, setiap apa yang kulakukan, menjadi selalu menakutkan dan aku pun ketakutan melakukan apapun. And all I can do is nothing. Aku bahkan tak bisa menopang diriku sendiri dari keterpurukan. Aku bahkan tak bisa membangkitkan semangatku sendiri. Semuanya, semua kegembiraanku lenyap. Bahkan untuk melihat wajahnya saja aku tak mampu, dan tak ingin lagi.
Apa ini yang disebut dengan 'belajar merelakan'? Belajar untuk meninggalkan luka lama dan belajar untuk menerima keadaan baru? Lalu nanti keadaan baru itu akan menjadi luka lagi? Begitukah seterusnya?
Dia. Dia manusia yang membuatku tersenyum, sekaligus menangis. Dia, yang membuat aku merasakan indahnya dicintai. Dia yang membuat aku merasakan kegembiraan, dan dia, yang membuat aku tersenyum pahit untuk pertama kalinya, and hopefully, untuk yang terakhir kalinya juga.

No comments:

Post a Comment